Al-Fakhrur-Razi, dalam tafsirnya, mendukung pendapat bahwa syura hukumnya wajib. Sebab hukum syura ditetapkan melalui perintah (amr). Sedangkan perintah menunjukkan makna wajib. Pendapat itu pula yang dipilih oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya. Abu Hurairah mengatakan, sebagaimana dicatat oleh Al-Bukhari, “Aku tidak melihat orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain Rasulullah saw.”
Perbedaan pendapat terjadi dalam membincangkan: apakah hasil syura itu mengikat? Makna syura yang mengikat adalah syura yang menjadikan pemimpin atau penanggungjawab terikat dengan keputusan yang muncul dari jama’ah yang direpresentasikan oleh majelis niyabi (majelis perwakilan atau majelis syura) atau keputusan musyawarah yang dilakukan oleh ahlul-halli wal-‘aqdi , istilah yang populer dalam fiqih Islam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa syura itu mengikat. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hanyalah memberi informasi.
Pendapat yang mengatakan bahwa syura bersifat informatif belaka konsekuensinya bahwa pemimpin, amir, atau pun amirul-mukminin boleh meminta pendapat para ulama, para fuqaha, para pemikir dan orang-orang yang mempunyai keahlian tertetu. Akan tetapi, ia tidak terikat oleh pendapat mereka. Ia boleh melakukan apa saja yang menurutnya baik dan diyakininya, selama tidak bertentangan atau keluar dengan nash.
Para fuqaha, pemikir, mujtahid, dan ahli hadits kontemporer kita telah sampai pada kesimpulan bahwa syura itu mengikat pemimpin jika syura itu muncul dari lembaga yang dikhususkan dan berkompeten untuk itu. Mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang membicarakan masalah syura. Yang pertama, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulaatkan tekad, maka bertakwakallah kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Para ulama memahami dari ayat itu bahwa imam meminta pendapat kemudian setelah itu memancangkan tekad. Atas apa dia bertekad? Untuk melaksanakan pendapat yang bukan merupakan pandangannya? Ataukah atas pendapat yang bertentangan dengan pendapat ahlus-syura? Tentu tidak. Sesungguhnya syura tidak berbenturan dengan tekad (‘azm) setelah jelas yang paling tepat dan paling maslahat.
Dan ayat kedua menggambarkan bahwa kaum mukminin dalam kehidupan mereka, shalat mereka, interaksi mereka dan dalam segala urusan penting mereka berpijak di atas landasan saling memahami dan musyawarah guna mencapai hal yang lebih baik dan lebih maslahat. Ayat tersebut terdapat pada surat Asy-Syura ayat 38.
Ada pun dalam Sunnah kita mendapati Rasulullah saw. sebegitu jauh menggunakan syura ini. Beliau banyak sekali meminta pandangan para sahabat dan keluarganya, laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, orang-orang secara umum dengan aneka cara dan berbagai bentuk. Artinya beliau mengajari manusia secara umum untuk berpartisipasi, berpikir, dan turut bertanggungjawab.
Rasulullah saw. pernah berbicara kepada Abu bakar dan Umar, “Jika kalian berdua bersepakat atas satu urusan niscaya aku tidak akan berbeda pendapat dengan kalian.” Dalam pernyataan itu, ada isyarat yang jelas adanya prinsip mayoritas. Dan bahwa hasil syura mengikat pemimpin walaupun semua itu bukan merupakan pendapatnya.
Dalam situasi perang, tidak banyak kesempatan untuk mengembangkan iklim dialogis sehingga peran musyawarah menjadi lemah dan kecil. Namun demikian, sebagai bukti concern-nya Rasulullah saw. dalam mengokohkan tiang kehidupan masyarakat Islam, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam saat terjadi Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Rasulullah saw. menerima dan mengikuti pendapat mereka tanpa mengecam mereka karena kemudian terbukti bahwa usulan mereka tidak menguntungkan kaum Muslimin. Rasulullah saw. tidak mengatakan kepada mereka, misalnya, “Tuh lihat, apa yang terjadi akibat kalian bersikeras untuk keluar dari Madinah ke Uhud dan tidak mau mengikuti pendapatku?” Agar pemikiran mereka tidak menjadi tumpul dan agar partisipasi mereka tidak menjadi sempit. Sebab, mereka hanya menyampaikan gagasan yang mereka anggap baik atas dasar keikhlasan dan keyakinan.
Sikap para fuqaha kontemporer
Bila kita menelaah apa yang ditulis dan dikemukakan oleh para ulama dan mujtahid kontemporer, yang mempunyai reputasi tinggi dan terpercaya dalam hal ilmu dan keamanahannya, kita akan menemukan bahwa sejumlah besar mereka berpandangan bahwa syura itu bersifat mengikat.
Hasan Al-Banna –pendiri jamaah dakwah Ikhwanul Muslimin– pada mulanya berpandangan bahwa syura hanya bersifat masukan. Dia begitu bersemangat menawarkan gagasan itu kepada sahabat-sahabatnya, melalui dialog-dialog. Akan tetapi, pada masa-masa akhir kehidupannya ia menerima pandangan bahwa syura bersifat mengikat. Beliau mewariskan sebuah qanun (undang-undang) jama’ah yang disusun oleh tim yang terdiri dari ‘Abdul-Hakim ‘Abidin, Thahir Al-Khasysyab, dan Shalih Al-‘Asymawi. Dengan diketuai oleh Hasan Al-Banna, tim itu mengajukan draft undang-undang tentang syura itu. Maka, ditetapkanlah undang-undang itu pada tahun 1948 –setahun sebelum ia syahid. Undang-undang itu menyatakan keharusan menerima dan memegang pandangan mayoritas. Jika ada suara berimbang, maka pemimpim jama’ahlah yang menimbang di antara keduanya. Dan cara semacam itu dipakai dalam setiap lembaga modern di sebagian besar penjuru dunia ini.
Tampaknya, Hasan Al-Banna mengambil pandangan bahwa syura bersifat masukan saat para muridnya masih baru tumbuh. Namun, setelah mereka mencapai kematangan dalam pemahaman, ia mengambil pandangan bahwa syura itu mengikat. Agar hal itu menjadi landasan yang kokoh dalam qanun asasi bagi tanzhim yang dibangun dan dipimpinnya itu.
Al-Maududi juga mempunyai pandangan serupa dengan pandangan Hasan Al-Banna itu. Ia mengatakan bahwa syura bersifat memberikan masukan saja. Dalam bukunya, Nizham Al-Hayat Fil-Islam, ia menyatakan bahwa kepala negara mempunyai hak menolak pendapat syura. Namun pada akhirnya, setelah melalui pengalaman panjang dalam memimpin jama’ah yang ia dirikan, ia meninggalkan pandangan itu dan mengambil pandangan tentang syura yang mengikat. Ia kemudian mengukuhkan pandangannya itu dalam bukunya, Al-Hukumah Al-Islamiyyah. Di situ ia menegaskan wajibnya menerima apa yang telah menjadi kesepakatan semua atau mayoritas ahlus-syura. Jika tidak, maka syura kehilangan makna dan nilainya, sebagaimana yang dikatakan Al-Maududi.
Dr. Musthafa As-Siba’i pun mempunyai pandangan itu dan ia puas dengan pandangan itu selama ia menjadi mas’ul (pemimpin) tanzhim Ikhwan di Suriah. Begitu pula Syaikh Muhammad Syaltut dalam bukunya, Min Taujihatil-Islam, dan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Asy-Syahid Sayyid Qutuhb, Asy-Syahid ‘Abdul-Qadir ‘Audah, Dr. Muhammad ‘Abdul-Qadir Abu Faris, dan lain-lain. Mereka semua menganut pandangan itu. Dan pandangan mereka itu selalu ditegaskan dalam buku-buku dan ceramah-ceramah mereka.