Minggu, 01 Juli 2018

SYURO (MUSYAWARAH) DALAM ISLAM

Tidak kecewa orang yang istikharah (minta pilihan kepada Allah), tidak menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak melarat orang yang hemat.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir dan Al-Ausath)

Syura atau musyawarah merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.

Secara terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. ‘Arif Khalil, hal. 236)

Rasulullah saw. menjadikan berjalannya syura sebagai indikator kepemimpinan yang baik. Beliau bersabda, “Jika para pemimpin kalian adalah orang-orang terbaik, orang-orang kayanya merupakan orang-orang yang paling dermawan, dan urusan kalian dimusyawarahkan di antara kalian, maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian dari pada perut bumi. Dan jika para pemimpin kalian adalah orang-orang paling buruk, orang-orang kaya merupakan orang-orang paling kikir, dan urusan kalian diserahkan kepada perempuan-perempuan kalian, maka perut bumi lebih baik bagi kalian ketimbang permukaannya.” (HR. At-Tirmidzi)

Apa yang diucapkan Rasulullah saw. itu tidak lain mempertegas perintah Allah swt. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura: 36)

Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syari’at Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.

Bahkan untuk urusan keluarga saja, Allah swt. memerintahkan syura. Perhatikanlah ayat berikut, “Maka jika mereka berdua ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Wajar jika Rasulullah saw. adalah orang yang bersemangat untuk melaksanakan syura itu. Beliau banyak meminta pendapat (istisyarah) kepada para sahabatnya, baik dalam urusan besar maupun urusan kecil. Baik dalam masa-masa damai maupun saat peperangan. Beliau bertanya kepada laki-laki juga perempuan. Beliau mendengar pendapat mereka baik secara pribadi-pribadi maupun kolektif.

Beliau pernah meminta pendapat kaum Muslimin dalam perang Badar. Seorang sahabat yang bernama Al-Habab Bin Mundzir mengusulkan untuk mengubah strategi berperang. Lalu Rasulullah saw. menerima pendapat itu seraya mengatakan, “Kamu telah mengemukakan pendapat yang baik.”

Rasulullah saw. juga menerima usulan para sahabatnya dalam perang Uhud. Meskipun kaum Muslimin mengalami kerugian dalam perang itu, namun Quran tetap menekankan pentingnya musyawarah itu. Setelah usai perang Uhud, turunlah ayat Quran, “Maafkanlah mereka, mintakanlah ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Jika kaum Muslimin mengalami kerugian dalam sebuah pertempuran sementara syura telah menjadi prinsip di tengah masyarakat mereka, maka hal itu seribu kali lebih baik ketimbang mereka menyerahkan urusan mereka kepada penguasa zalim yang otoriter dan memperbudak.

Khalifah Umar Bin Khattab mengatakan, “Tiada kebaikan pada suatu urusan yang dilaksanakan tanpa musyawarah.” (An-Nizham As-Siyasi Fil-Islam, Muhammad Abdul-Qadir Abu Faris.)

Para sahabat dan para khalifah menempuh jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw., nabi, dan pemimpin mereka dalam berbagai lini kehidupan. Mereka mengaplikasikan sistem syura pada masa-masa khulafaur-rasyidin. Abu Bakar misalnya, meminta pendapat Umar Bin Khattab dan mengumpulan para sahabat lainnya untuk membincangkan persoalan apa saja yang tidak didapati nashnya dalam Quran dan tidak pula dalam Sunnah. Dan begitu pula yang dilakukan Umar, Utsman, Ali, dan para pemimpin penaklukan.

Saat terjadi pertempuran dengan Persia, Panglima Tentara Persia meminta bertemu dengan Panglima Perang Kaum Muslimin untuk melakukan perundingan. Setelah Panglima Tentara Persia itu menyampaikan keinginannya, Panglima Perang Muslimin menjawab, “Beri saya waktu untuk bermusyawarah dengan orang-orang.” Panglima Persia itu mengatakan, “Kami tidak mengangkat orang yang selalu mengajak bermusyawarah sebagai pemimpin.” Panglima Muslim itu menjawab, “Karena itulah kami selalu mengalahkan kalian. Kami justru tidak pernah mengangkat pemimpin dari orang yang tidak mau bermusyawarah.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang murtad setelah meminta pendapat para sahabat secara luas. Beliau meyakinkan mereka dengan nash-nash dan dalil-dalil yang dikemukakannya. Itu pula yang dilakukan oleh Al-Faruq. Dan Ali Bin Abi Thalib mensyaratkan agar orang-orang merujuk kepada ahlusy-syura (orang-orang yang berkompeten untuk bermusyawarah) sebelum ia bersedia menerima kepemimpinan kaum mukminin.

Syura wajib diikuti

Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. –baik yang bersifat qauli (perkataan) maupun ‘amali (praktik)– telah menjelaskan bahwa syura memiliki nilai tinggi, wajib diikuti, dan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Firman Allah swt., “Maafkanlah mereka, mintakanlah ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Ayat itu turun setelah terjadi Perang Tabuk. Ayat itu mengakui kebenaran jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. yang telah mengajak bermusyawarah kepada para sahabat untuk menghadapi orang-orang kafir di Uhud.

Dalam ayat 159 surah Ali ‘Imran: “fa bimaa rahmatin minallaahi linta lahum” (maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka) menunjukkan adanya perintah eksplisit wajibnya bersikap lemah lembut dan menyebarkan kedamaian dalam hati orang-orang yang bermusyawarah (para pembuat keputusan); dan mencerabut rasa takut dari hati mereka serta membuka ruang bagi mereka untuk mendiskusikan persoalan. Walaupun pada dasarnya mereka harus taat baik dalam hal yang ia suka atau pun dalam hal yang ia tidak suka.

“Walau kunta fazhzhan ghalizhal-qalbi lanfadhdhu min haulik” (sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu), seandainya para peserta musyawarah merasakan ketakutan di tengah majelis pemimpinnya tentu mereka akan memilih patuh dalam rangka menyelamatkan diri dan akan menerima segala apa yang dikatakannya. Mereka tidak akan berani mengemukakan gagasan dan pemikiran mereka. Mereka juga tidak akan susah payah membela hujah-hujah mereka.

Jadi, suasana yang harus dimunculkan, seperti yang diungkapkan Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Al-Quranil-‘Azhim, adalah suasana penuh keakraban dan kebersihan hati agar mereka lebih bersemangat melaksanakan musyawarah itu.

“Fa’fu ‘anhum wastaghfir lahum wa syaawirhum fil-amr” (maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu). Jika suasana kedamaian telah muncul di kalangan para peserta musyawarah, maka adalah kewajiban mereka untuk bekerja keras dalam mengemukakan pandangan guna mencari solusi dan alternatif, menyampaikan alasan, pilihan dan skala prioritas.

Penyebutan perintah musyawarah setelah perintah memaafkan dan memohonkan ampunan tidak harus dipahami sebagai urutan. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Dan pemaafan serta permohonan ampunan terus berlangsung hingga usai majelis musyawarah. Tujuannya adalah untuk memaafkan dan memintakan ampunan kepada Allah atas segala kesalahan yang dilakukan para peserta musyawarah seperti omongan yang sia-sia, kekasaran dalam berbicara tanpa sengaja, dan sebagainya.

Share:

Blogger templates

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support